PENGARUH SELF ACCEPTANCE ORANG TUA TERHADAP KEPERCAYAAN DIRI ANAK AUTIS DI YAYASAN MUTIARA PELANGI ANAKKU KOTA CIREBON
PROPOSAL
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan seminar proposal
Di susun oleh :
Uswatun Khasanah
NIM : 1415306071
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SYEKH NURJATI CIREBON
2018 M / 1440 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur bagi Tuhan yang maha Esa karena karunia, nikmat, rahmat dan hidayahNya. Dengan kehendakNya penulis dapat menyelesaikan proposal yang merupakan salah satu syarat pengajuan skripsi Jurusan Bimbingan Konseling Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Solawat serta salam semoga tercurahkan kepada bagina alam Nabi akhir zaman nabi Muhammad Saw , keluarga, serta pengikutnya. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing, Jaja Suteja,M.Pd dan Pihak Yayasan Mutiara Pelangi Anak ku yang telah memberikan bimbingan, pengetahuan serta waktu guna suksesnya pembuatan proposal ini.
Penulis menyadari proposal yang berjudul Pengaruh Self Acceptance Orang Tua Terhadap Kepercayaan Diri Anak Autis masih belum maksimal. Sebagai usaha menuju kedewasaan dan kematangan berfikir, saran dan kritik konstruktif dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk menambah daya manfaat proposal .
Cirebon, Desember 2018
Uswatun Khasanah
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan mahluk tuhan yang paling unik dan sempurna. Manusia dikatakan sempurna karena manusia di anugrahi akal dan hati yang dapat membedakan dari semua mahluk tuhan lainnya. Selain di anugrahi akal dan hati manusia juga di anugrahi dengan kompleksitas prilaku manusia yang tak pernah terlepas darinya. Pada dasarnya manusia itu tidak pernah statis, sejak lahir sampai meninggal manusia selalu mengalami perubahan. Dari segala perubahan yang terjadi pada manusia, ada satu perubahan yang di idam-idamkan setiap manusia yaitu berkembangbiak atau dengan istilah lainnya yaitu mempunyai keturunan yang tak lain adalah mempunyai anak.
Anak merupakan suatu anugrah yang dititipkan Tuhan kepada masing masing orang tua pilihan. Seorang anak sangat di harapkan kehadirannya di tengah-tengah keluarga kecil ayah dan ibu, tanpa kehadiran seorang anak sebuah keluarga dianggap kurang lengkap dan indah. Maka dari itu, tidak jarang orang yang rela mengadopsi anak untuk kelengkapan hidupnya. Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, setiap orang tua pasti mengharapkan anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik, setiap orang tua menginginkan anak yang lucu, pintar, cerdas, terampil, dan kreatif sehingga nanti di harapkan akan menjadi penerus bagi keluarganya. Setiap ibu pasti menginginkan anaknya lahir dengan keadaan sehat dan normal. Karena tidak dapat disangkal bahwa setiap ibu itu memiliki konepan anak masing-masing seperti pendapat Hurlock dalam Skripsi (Cahyani, 2015 : 6) mengemukakan bahwa semua anggota keluarga termasuk ibu mempunyai konsep anak impian yang mewarnai sikap mereka kepada bayi yang belum lahir.
Namun tidak semua orang mendapatkan apa yang diinginkan, ada beberapa orang yang mendapatkan titipan yang berbeda dengan umumnya, begitupun dengan manusia, ada orang tua yang di titipkan anak yang lucu, pintar sesuai keinginan ada pula orang tua yang di titipkan anugrah anak dengan istilah ABK. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menurut (Nida, 2013 :163) merupakan anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental, intelektual, sosial, emosional), sehingga memerlukan perlakukan khusus. Selaras deengan pernyataan tersebut menurut (Herward & Orlansky, 1992) dalam jurnnal komunikasi penyiaran islam, menyatakan anak berkebutuhan khusus memiliki atribut fisik atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, baik di atas atau di bawah, yang tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan fisik, mental, atau emosi, sehingga membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus.
Terdapat berbagai jenis Anak berkebutuhan khusus diantaranya yaitu : Tunanetra, Tunarungu, Tuna Wisma, Tunadaksa, Tunalaras, Tunagrahita, Cerebral palsy, Gifted, Autis, Asperger Disorder (AD), Retts Disorder,Attention Deficit Disorder with Hyperactive (ADHD), Slow Learner, dan Kesulitan belajar spesifik. Selaras dengan itu, Herward dan Orlansky mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus menjadi delapan kategori yaitu : Retardasi mental, kesulitan belajar, gangguan emosi, gangguan komunikasi (bahasa dan pengucapan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (gangguan fisik atau gangguan kesehatan lainnya), tunaganda(memiliki lebih dari satu gangguan atau ketunaan yang cukup berat). Selain itu (Somantri, 2012 :1) mengatakan bahwa jenis Anak Berkebutuhan Khusus diantaranya yaitu: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, masalah perkembangan anak berbakat, dan masalah perkembangan anak berkesulitan belajar.
Dari berbagai kategori ABK tersebut terdapat satu kategori yang akan di kerucutkan yaitu khasus anak autis menurut (Hasanah, 2017 :57) Autis adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Autisme berasal dari kata “auto’ yang berarti sendiri. Penyandang autisme seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1913 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan itu sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Sejalan dengan itu menurut Davidson, 2010 yang di kutip pada jurnal perempuan, agama dan gender (Wahdani, 2017 ) mengemukakan bahwa gangguan autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan pervasif, berawal sebelum usia 2,5 tahun. Gejala-gejala utamanya adalah ketidak mampuan untuk berhubungan dengan orang lain, berbagai masalah komunikasi, mencakup kegagalan dalam mempelajari bahasa atau ketidakwajaran bicara, seperti ekolalia, dan pembalikan kata ganti; dan mempertahankan kesamaan, suatu keinginan obsesif untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari dan lingkungan sekelilingnya selalu sama persis.
Realita menunjukan bahwa kebanyakan orang tua kurang bahkan tidak menerima anak autis, seolah-olah orang tua yang mempunyai anak autis seperti mendapatkan musibah besar dan aib bagi keluarganya. Orang tua merasa malu, dan pada jurnal sebelumnya hal yang seperti itu yang menjadi pemicu tinggi stres dalam keluarga dibandingkan dengan orang tua yang mempunyai gangguan biasa. Menurut (Faradina, 2016) yang dikutip dari jurnal ( Mira, 2012) mengemukakan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan beban berat bagi orang tua baik secara fisik maupun mental. Beban tersebut membuat reaksi emosional didalam diri orang tua. Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dituntut untuk terbiasa menghadapai peran yang berbeda dari sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus. (Daulay, 2017) menyebutkan Yayasan Autis Indonesia menyatakan adanya peningkatan prevalensi penyandang autis, dimana jumlah anak autis di Indonesia diperkirakan 1 : 5000 anak, meningkat menjadi 1 : 500 anak, kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 1 diantara 50 anak (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014)
Anak yang lahir dengan kondisi mental yang kurang sehat tentunya membuat orang tua sedih dan terkadang tidak siap menerimanya karena berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang memperlakukan anak tersebut secara kurang baik. hal itu tentu saja sangat membutuhkan perhatian lebih dari pada orang tua dan saudaranya (Setyaningrum, 2010). Menurut Puspita (2004), reaksi pertama orang tua ketika awalnya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang berkebutuhan khusus untuk mengalami fase ini, sebelum akhirnya sampai pada tahap penerimaan (acceptance).
Menurut (Rachmayanti, 2007) mengutip kata berikut bahwasannya penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai individual tetapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin, 2000). Roger (dalam Sutikno, 1993) mengatakan bahwa penerimaan merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima kenyataan hidup, semua pengalaman baik ataupun buruk. Penerimaan orangtua sangat mempengaruhi perkembangan anak autisme dikemudian hari. Sikap orangtua yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya memiliki gangguan autisme akan sangat buruk dampaknya, karena hal tersebut hanya akan membuat anak autisme merasa tidak dimengerti dan tidak diterima apa adanya serta dapat menimbulkan penolakan dari anak (resentment) dan lalu termanisfestasi dalam bentuk perilaku yang tidak diinginkan (Marijani, 2003) bagaimanapun anak dengan gangguan autisme tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang, perhatian dan cinta dari orangtua, saudara dan keluarganya.
Setiap anak merupakan anugrah yang harus dijaga, di syukuri dan di terima dengan lapang dada. Karena setiap anak itu merupakan buah hati orang tua, bagaimana pun keadaan anak baik itu normal atau kurang normal anak mempunyai hak yang sama, begitupun anak autis mereka berhak untuk mendapatkan hak-hak yang harus dipenuhi untuk dirinya. Seperti kasih sayang, penghargaan, pendidikan, dan hak lainnya. Alasan peneliti mengambil penelitian ini di Yayasan Mutiara Pelangi Anakku yaitu peneliti tertarik pada sebuah peranan dan pengaruh orang tua menerima anak autis sehingga anak autis dapat menjalani hidupnya dengan percaya diri yang penuh.
Yayasan Mutiara Pelangi anakku merupakan pendidikan dan pelatihan anak berkebutuhan khusus dengan pelayanan spesifikasi yang di butuhkan anak tumbuh kembang anak sepesial. Seorang anak tidak hanya butuh peran guru dalam sekolahnya untuk menjalani hidup, namun peran orang tua sangatlah di perlukan dalam membentuk karakter seorang anak, apalagi dalam khasus ini anak-anak dalam Yayasan Mutiara Pelangi anakku merupakan anak yang memiliki kebutuhan khusus tentu saja peran orang tua sangatlah berpengaruh. Pada kesempatan kali ini peneliti tertarik pada bagaimana peran self acceptance(penerimaan diri) orang tua yang memiliki anak autis terhadap kepercayaan diri anak autis.
Penerimaan orang tua terhadap kekurangan dan kelebihan anak autis itu berat dirasakan, namun penerimaan orang tua terhadap anak autis itu akan berpengaruh pada kelakuan anak tersebut. Penelitian ini memfokuskan pada rasa penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis dan kepercayaan diri anak autis. Tujuan penelitian ini dilakukan guna mengetahui ada kesinambungan atau tidak antara self acceptance orang tua dengan rasa kepercayaan diri anak autis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peneliti mengambil judul pengaruh self acceptance orang tua terhadap kepercayaan diri anak autis di yayasan mutiara pelangi anakku, karena peneliti tertarik pada sebagian anak autis di yayasan tersebut yang memiliki kepercayaan diri yang sangat bagus, sehingga membuat peneliti penasaran dengan pola orang tua dengan anak autis yang salah satunya yaitu penerimaan diri orang tua terhadap kepercayaan diri anak autis
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan di atas, identifikasi masalahnya meliputi :
1. Penerimaan diri orang tua dapat mempengaruhi kepercayaan diri anak autis
2. Tahapan orang tua dapat memiliki penerimaan diri terhadap anak autis
3. Aspek dan indikatoor penerimaan diri orang tua
4. Aspek dan indikator kepercayaan diri anak autis
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam proposal ini digunakan untuk mencegah pelebaran pembahasan dan lebih mengkerucutkan pembahasan dalam proposal sehingga menemukan kevalidan di dalamnya yaitu: Masalah yang diamati adalah bagaimana penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis, bagaimana tahap orang tua yang memiliki anak autis sehingga dapat mencapai penerimaan diri yang baik, dan bagaimana pengaruh penerimaan diri orang tua terhadap kepercayaan diri anak autis
D. Rumusan Masalah
1. Wilayah Kajian
Wilayah kajian dalam penelitian ini yaitu psikologi, khususnya psikologi perkembangan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam khasus anak autis
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan wilayah kajian yang di peroleh peneliti maka batasan masalah dalam penelitian ini menitik beratkan pada bagaimana pengaruh self acceptance orang tua terhadap kepercayaan diri anak autis
Pertanyaan penelitian
1. Bagaimana self acceptance (penerimaan diri ) orang tua yang memiliki anak autis?
2. Bagaimana kepercayaan diri anak autis di Yayasan Mutiara Pelangi Anakku?
3. Bagaimana pengaruh self acceptance (penerimaan diri) orang tua terhadap tingkat kepercayaan diri anak autis?
E. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data tentang self acceptance orang tua yang memiliki anak autis dan pengaruhnya terhadap kepercayaan diri anak autis, sehubungan dengan itu penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk menggambarkan self acceptance orang tua yang memiliki anak autis
2. Untuk menjabarkan tahapan self acceptance orang tua yang memiliki anak autis
3. Untuk mendefinisikan kepercayaan diri anak autis
4. Untuk mengetahui pengaruh self acceptance orang tua terhadap kepercayaan diri anak autis
F. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pengaruh self acceptance orang tua yang memiliki anak autis terhadap kepercayaan diri anak autis bagi civitas akademik IAIN Syekh Nurjati Cirebon khususnya Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah serta jurusan Bimbingan Konseling Islam yang merupakan pengetahuan khusus untuk jurusan Bimbingan Konseling Islam untuk menambah wawasan kajian konseling sehingga jika warga Bimbingan konseling mendapatkan klient yang bermasalah tentang self acceptance ataupun kepercayaan diri pada anak autis dapat dengan mudah memahami dan mudah untuk menginterpensinya.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis berguna untuk :
1. Terapis
Penelitian ini harapkan dapat menjadi referensi dan rujukan para terapis yang memiliki klien anak autis sehingga dapat mudah mengakses informasi yang di butuhkan seorang terapis sehingga mudah untuk menginterpensi dan menjauhkan dari bias interfensi pada klient yang bermasalah sama dengan penelitian ini
2. Orang Tua yang Memiliki Anak Autis
Penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan rujukan dan pertimbangan orang tua yang terkait dengan masalah autisme, sehingga dengan banyaknya informasi yang diterima oleh para orang tua yang memiliki anakk autis diharapkan dapat menerima keberadaan anaknya dengan penuh kesadaran dalam mendampingi, membesarkan, mendidik dan memberdayakannya hingga anak autis dapat memiliki kepercayaan diri dan jati dirinya
3. Anak Autis
Penelitian ini di harapkan dapat membantu anak autis mendapatkan penanganan yang tepat guna menjalankan kehidupannya penuh dengan kepercayaan diri
4. Jurusan BKI
Penelitian ini di harapkan dapat menambah kajian keilmuan bagi jurusan Bimbingan Konseling Islam sehingga Jurusan Bimbingan Islam kaya akan keilmuan yang berkaitan dengan jurusan
G. Kajian Terhahulu
Ada beberapa tulisan terkait dengan tema self acceptance orang tua terhadap kepercayaan diri anak autis, di antaranya yaitu:
1. Jurnal karya Novina Varadina yang berjudul “penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus”. Jurnal ini membahas tentang bagaimana proses orang tua bisa mencaai fase self acceptance yang di teliti pada 3 subjek yang berbeda dan dengan hasil yang berbeda pula. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada ketiga subjek memiliki penerimaan diir yang berbeda dalam menerima dan menghadapi anak dengan berkebutuhan khusus. Pada subjek AS, memiliki penerimaan diri yang positif karena subjek pasrah dengan keadaan anaknya namun berusaha untuk memahami kondisi anaknya dan tidak malu dengan yang kekurangan yang dimiliki oleh anaknya. Subjek kedua SL memiliki penerimaan diri yang positif karena subjek dapat berusaha untuk ikhlas dan memahami keadaan anaknya serta selalu mendukung segala kegiatan anak termasuk dalam hal sekolah.
Perbedaan dengan penelitian ini yaitu terletak pada variebelnya. Jika di jurnal hanya menggunakan variabel x tanpa variabel y, sedangkan di penelitian ini menggunakan variabel y variabel ynya yaitu kepercayaan diri anak autis. Jadi akan di cari kolerasi antara variabel x dan variabel y
2. Jurnal karya Ririn Pancawati program study Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang berjudul “ Penerimaan diri dan dukungan orang tua terhadap anak autis”. Jurnal ini membahas tentang bagaimana orang tua mencapai penerimaan diri dan memberi dukungan kepada anak yang mengalami gangguan autis, Hasil penelitiannya adalah tiga dari empat objek penelitian mempunyai penerimaan diri yang baik saat ini, sehingga penanganan lebih lanjut pada anak autis dapat dijalani dengan baik. Objek yang memiliki penerimaan diri yang baik akan mampu memberikan dukungan secara optimal pada perkembangan anak autis selanjutnya, sebaliknya satu dari empat objek penelitian terlihat kurang mampu menerima kondisi yang ada pada anaknya yang autis. Hal ini akan memberi dampak pada dukungan yang diberikan, karena objek tersebut masih tidak dapat mengendalikan emosi- emosi atau beban psikologis dalam dirinya sehingga dukungan pada perkembangan perkembangan anak autis tersebut menjadi tidak maksimal (Pancawati, 2013).
Perbedaan dengan penelitian ini yaitu terletak pada variebelnya. Jika di jurnal hanya menggunakan variabel x tanpa variabel y, sedangkan di penelitian ini menggunakan variabel y variabel ynya yaitu kepercayaan diri anak autis. Jadi akan di cari kolerasi antara variabel x dan variabel y
3. Skripsi karya Sari Indah Sadiyah study Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Semarang yang berjudul “Pengaruh penerimaan orang tua tentang kondisi anak terhadap aktualisasi diri anak penyandang cacat fisik di SLB D YPAC cabang Semarang tahun 2009”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang pengaruh antara penerimaan orang tua terhadap aktualisasi diri anak penyandang cacat fisik. Dimana di terangkan dalam skripsi ada dua variabel dalam penelitiannya yaitu penerimaan orang tua (X) sebagai variabel bebas dan aktualisasi diri anak penyandang acat fisik (Y) sebagai variabel terikat. Populasi dalam penelitian adalah semua orang tua dan anak penyandang cacat fisik di SLB D YPAC cabang Semarang. Teknik sampling yang digunakan adalah sampling purposive, ditunjuk 16 orang tua dan 16 anak sebagai subjek penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala penerimaan orang tua dan skala aktualisasi diri.
Hasil dari penelitian ini adalah tingkat penerimaan orang tua 81 % berada pada kategori tinggi, sedangkan tingkat aktualisasi diri anak penyandang cacat 94 % berada pada kategori tinggi. Analisis data penelitian ini menggunakan bantuan komputer dengan Satistical Program for Social Science (SPSS) versi 12.0 menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,725, diperoleh persamaan regresi Y = 36,070 + 0,725 X dan mempunyai koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,526. Artinya 52,6 % variabel penerimaan orang tua berpengaruh terhadap aktualisasi diri anak penyandang cacat, sedangkan sisanya 47,4% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan penerimaan orang tua tentang kondisi anak berpengaruh signifikan terhadap aktualisasi diri anak penyandang cacat fisik di SLB D YPAC cabang Semarang Tahun 2009.
Perbedaan dari kajian terdahulu dengan penelitian sekarang yaitu terletak pada kasus variabel y dimana dalam kajian terdahulu variabel y nya anak penyandang cacat fisik sedangkan pada penelitian kali ini variabel y nya yaitu anak autis.
H. Kerangka Teori
1. Pengertian Aspek dan Indikator Self Acceptance (Penerimaan Diri)
a. Pengertian Self Acceptance (Penerimaan Diri)
Penerimaan diri merupakan sikap positif yang ada dalam diri individu yang dapat memahami dirinya secara penuh dan menerima diri apa adanya baik kelebihan maupun kekurangannya. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta bebas dari rasa cemas terhadap penilaian orang lain. Menurut Chaplin, penerimaan diri yaitu suatu sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan dirinya sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 2011).
Selaras dengan itu Supratiknya berpendapat bahwa penerimaan diri adalah memiliki penghargaan diri yang tinggi terhadap diri sendiri atau lawannya, tidak bersikap sinis terhadap diri sndiri (Supratiknya, 1995). Selain itu, menurut Maslow (dalam Schultz, 1991) mengatakan bahwa penerimaan diri yaitu individu yang memiliki kemampuan menerima diri sendiri dan orang lain.
Menurut Leianti dalan skripsi Rizky Amalia Cahyani seseorang bisa dikatakan mempunyai penerimaan diri pada saat mengatasi tekanan hidupnya bisa menunjukan respon yang tepat, karena penerimaan diri positif adalah keyakinan diri sendiri dan harga diri, sehongga timbul kemampuan menerima dan mengolah kritik demi perkembangan dirinya sendiri. Selaras dengan itu Schultz dalam skripsi Amalia berpendapat bahwa orang yang menerima diri dapat menerima kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan dan terlampau memikirkannya. Meskipun memiliki kelemahan, tetapi tidak pernah merasa malu atau merasa bersalah dengan hal-hal tersebutdan menerima apa adanya (Rahmawati, Machmuroh, & Nugroho, 2012p.19)
b. Aspek Penerimaan Diri
Dari pengertian di atas, dapat kita tuangkan dalam aspek-aspek penerimaan diri,seperti yang di paparkan oleh Risky Amalia Cahyani ( Rahmawati, Machmaroh, dan Nugroho : 2012) mengemukakan bahwa aspek penerimaan diri menurut Supratiknya : 1995 dan Schineer dalam (Cronbach:1954) aspek penerimaan diri yaitu pembukaan diri, percaya kemampuan diri,kesehatan psikologis, orientasi keluar, bertanggung jawab, ber pendirian, dan menyadari keterbatasan.
Sedangkan menurt Sheerer (dalam Sutadipura, 1984) menyebutkan aspek-aspek penerimaan diri, yaitu : Kepercayaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi hidupnya, menganggap dirinya sederajat dengan orang lain, tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal dan tidak mengharapkan bahwa orang lain mengucilkannya, tidak malu atau takut di cela orang lain, mempertanggungjawabkan perbuatannya, menjadi diri sendiri, menerima pujian dan celaan yang objektif, tidak menganiaya diri sendiri
Aspek-aspek penerimaan diri orang tua menurut Poster (Johnson daan Medinnus, 1967) dalam skripsi Risky Amalia Cahyani yaitu: Menghargai anak sebagai individu dengan perasaan mengakui hak anak dan memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan, menilai anak sebagai diri yang unik sehingga orang tua dapat memelihara keunikan anak tanpa batas agar anak mampu menjadi pribadi yang sehat, mengenal kebutuhan-kebutuhan anak untuk memisahkan diri dari orangtua dan mencintai individu yang mandiri, mencintai anak tanpa syarat.
Penerimaan seorang ibu dengan anak berkebutuhan khusus merupakan sikap penerimaan segala kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam diri seorang anak sehingga dapat memandang lebih luas dan jernih kebutuhan seorang anak. Penerimaan lebih berkaitan dengan pemberian cinta tanpa syarat. Beberapa aspek penerimaan orang tua terhadap anaknya yaitu : menghargai, menilai, mengenal, mencintai
c. Indikator penerimaan diri
Menurut Supratiknya ada 3 hal yang berkaitan dengan penerimaan diri, yaitu : Kerelaan untuk membuka atau mengungkap segala pikiran, perasaan dan reaksi pada orang lain, kesehatan psikologis, penerimaan terhadap orang lain. Selaras dengan itu Sheere (dalam Cronbach, 1963) mengemukakan ciri-ciri seseorang yang mau menerima diriadalah : Mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya, menganggap dirinya berharga sebagai seseorang manusia yang sederajat dengan oranglain, berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, menerima pujian dan celaan secara objektife. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkarikelebihannya.
Sedangkan menurut Allport (dalam Hjelle & Zeigler, 1992) cirri-ciri seseorang yang maumenerima diri yaitu sebagai berikut :
1. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.
2. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya.
3. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain berikritik
4. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, kemarahan)
Jersild (1978) memberikan perbedaan karakteristik individu yang menerima keadaan dirinya atau yang telah mengembangkan sikap penerimaan terhadap keadaannya danmenghargai diri sendiri, yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinyatanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasandirinya. Dan tidak melihat pada dirinya sendiri secara irrasional. Orang yang menerima dirinya menyadari asset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik ataumelakukan keinginannya. Mereka juga menyadari kekurangan tanpa menyalahkan dirisendiri.
Hjelle (1992) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki penerimaan dirimempunyai karakteristik bahwa individu tersebut memiliki gambaran positif terhadapdirinya dan dapat bertahan dalam kegagalan atau kepedihan serta dapat mengatasikeadaan emosionalnya seperti depresi, marah dan rasa bersalah.
Jadi kesimpulan karakteristik penerimaan diri dari beberapa tokoh di atas yaitu seseorang yang mau menerima dirinya sendiri mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya, menganggap dirinya berharga sebagai seseorang manusiayang sederajat dengan orang lain, berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya,dapat menerima pujian dan celaan secara objektif. Serta dapat berinteraksi dengan oranglain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik, dapat mengatur keadaanemosi mereka (depresi, kemarahan). Dapat menerima keadaan dirinya atau yang telahmengembangkan sikap penerimaan terhadap keadaannya dan menghargai diri sendiri.
d. Faktor-faktor yang Berperan dalam Penerimaan Diri
Hurlock (dalam Pancawati, 2013), menyatakan bahwa penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Penerimaan orang tua didalam pengertian Hurlock menerangkan berbagai macam sikap khas orangtua terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak mereka merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sikap orang tua terhadap anak. Hurlock menjelaskan faktor-faktor tersebut adalah :
1. Konsep “anak idaman”
2. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya.
3. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak
4. Orang tua menyukai peran, merasa bahagia dan mempunyai penyesuaian yang baik perkawinan akan mencerminkan penyesuaian yang baik pada anak.
5. Apabila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap mereka terhadap anak dan perilakunya lebih baik dibandingkan sikap mereka yang merasa kurang mampu dan ragu-ragu.
6. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri
7. Alasan memiliki anak.
2. Kepercayaan diri
a. Pengertian Kepercayaan Diri
Menurut Jacinta F Rini dari team e-psikologi menjelaskan kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Dengan memiliki ini menurutnya bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut di mana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.
Menurut peneliti, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa percaya diri adalah suatu sikap positif yang diyakini oleh individu terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya yang membuat ia bersedia untuk melakukan semua keinginan yang realistis dalam dirinya meskipun memiliki resiko.
b. Faktor yang membentuk percaya diri
Ada dua faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang yaitu faktor eksternal dan faktor internal, kedua faktor tersebut memiliki peran yang sama dalam membentuk kepercayaan diri seseorang. Adapun penjelasannya seperti berikut:
1. Faktor Eksternal
a. Pola asuh orang tua (pendidikan rumah)
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.
b. Lingkungan Masyarakat (pendidikan sosial)
Perkembangan percaya diri akan meningkat atau lebih rendah juga berkembang melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Lingkungan psikologis dan sosiologis yang kondusif akan menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Lingkungan psikologis dan sosiologis yang kondusif adalah lingkungan dengan suasana demokratis, yaitu adanya suasana penuh penerimaan, kepercayaan, rasa aman dan kesempatan untuk mengekspresikan ide-ide dan perasaan.
c. Lingkungan Pendidikan (pendidikan formal)
Institusi pendidikan yang mengambil sebagian besar waktu pertumbuhan seseorang juga sangat mempengaruhi percaya diri. Siswa yang sering diperlakukan buruk (dihukum atau ditegur di depan umum) cenderung sulit mengembangkan percaya dirinya. Sebaliknya, yang sering dipuji, dihargai, diberi hadiah (apalagi di depan umum) akan lebih mudah mengembangkan konsep diri yang positif, sehingga lebih percaya diri.
2. faktor internal
Setelah dipaparkan di atas tentang beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya percaya diri atau rendah diri seseorang, akan berakibat munculnya faktor internal yaitu faktor yang bersumber dari dirinya sendiri. Berupa pemahaman seseorang terhadap dirinya yang terdiri dari bagaimana orang tersebut memandang diri dan membuat gambaran tentang dirinya yaitu konsep diri.
Menurut Bambang Soenaryo, Psi erat kaitannya dengan konsep diri, menurutnya adalah cara pandang seseorang terhadap dirinya; baik dari sisi apa yang dipahami oleh dirinya sendiri, dari sisi apa yang dipahami oleh orang lain terhadap dirinya. Dan dari sisi nilai-nilai idealitas yang dituntut masyarakat secara umum terhadap dirinya. Yang penting adalah bagaimana seseorang memiliki konsep diri yang jelas. Dengan konsep diri yang jelas, seseorang akan mempercayai dirinya sendiri, mampu menilai posisi dan kualitas dirinya, serta dapat menempatkan diri dengan baik
I. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif, kuantitatif deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai verbal mandiri, baik satu verbal atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain.
2. Sumber Data
Menurut (Bungin, 2005) sumber data di bagi menjadi bagian yaitu sebagai berikut:
a. Data Primer
Data Primer merupakan data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian (Bungin, 2005). Seperti penelitian ini data primer di peroleh dari orang tua yang memiliki anak autis, guru/ terapis dari yayasan Mutiara Pelangi Anakku, dan observasi anak autis tersebut.
b. Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data yang di peroleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang di butuhkan (Bungin, 2005). Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari tulisan ilmiyah, buku, dan dosen pembimbing yang bersangkutan dengan materi penelitian.
3. Meode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah bagian instrumen pengumpulan data yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian . Kesalahan penggunaan data atau metode pengumpulan data yang tidak di gunakan secara mestinya, berakibat fatal terhadap hasil-hasil penelitian yang di lakukan. Pada penelitian kuantitatif ini di kenal beberapa metoode (Bungin, 2005) sebagai berikut:
a. Angket
Metode angket biasa di kenal dengan sebutan metode kuesioner dalam bahasa inggris questionnaire (daftar pertanyaan). Metode angket merupakan serangkaian atau daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, kemudian di kirim untuk diisi oleh responden. Setelah diisi angket dikirim kembali atau dikembalikan kepetugas atau peneliti (Bungin, 2005 : 133).
Dalam penelitian ini menggunakan angket langsung tertutup. Angket langsung tertutup merupakan angket yang di rangcang sedemikian rupa untuk merekam data tentang keadaan yang dialami oleh responden sendiri, kemudian semua alternatif jawaban yang harus dijawab responden telah tertera dalam angket tersebut (Bungin, 2005). Dalam penelitian ini peneliti membagikan angket dari instrumen yang telah di uji oleh dosen Pembimbing Akademik
b. Wawancara
Wawancara atau interviu adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai menurut Moh. Nazir dalam buku Metode Penelitian Kuantitatif (Bungin, 2005 : 136). Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan guru/terapi di Yayasan Mutiara Pelangi Anakku dan orang tua yang mempunyai anak autis guna kebenaran dan kelancaran pembuatan proposal
c. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Observasi adalah kemampuan seseorang utuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indra (Bungin, 2005 : 143). Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi awal dengan datang ke Yayasan Mutiara Pelangi Ankku untuk melihat, mendengar, merasakan dan memahami fenomena yang ada di lingkungan sekitar sehingga peneliti mendapat informasi yang di butuhkan untuk penelitian proposal
d. Dokumen
Metode dokumen adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumen adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis.
4. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas (independent variabel ) dan variabel tergantung (dependent variabel)
a. Variabel bebas adalah variabel yang menentukan arah atau perubahan tertentu pada variabel tergantung, variabel bebas berada pada posisi yang lepas dari pengaruh variabel tergantung . Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah self acceptence ( penerimaan diri ) orang tua yang memiliki anak autis
b. variabel tergantung adalah variabel yang di pengaruhi oeh variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel tergantung adalah kepercayaan diri anak autis
5. Subjek Penelitian
a. Populasi
Populasi berasal dari kata bahasa Inggris population yang berarti jumlah penduduk. Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek yang menjadi sasaran penelitian. Populasi penelittian merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang dapat berupa hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, niai, peristiwa, sikap hidup dan sebagainya sehingga objek dapat menjadi sumber data penelitian. Dalam penelitian ini populasinya merupakan anak autis yang berjumlah 10 anak
Di lihat dari kompleksitas objek populasi, maka populasi penelitian ini merupakan populasi homogen, populasi homogen yaitu keseluruhan individu yang menjadi anggota populasi, memiliki sifat-sifat yang relatif sama satu sama lainnya. Ciri yang menonjol dari dari populasi homogen yaitu tidak ada perbedaan hasil tes dari populasi yang berbeda. Maksudnya adalah gejala yang timbul adalah gejala yang timbul pada suatu kali percobaan atau tes merupakan gejala yang timbul pada seratus atau lebih kali tes terhadap populasi yang sama. Dalam penelitian ini populasi homogennya yaitu anak autis yang memiliki gejala yang sama dan memiliki sifat-sifat yang relatif sama satu sama lainnya.
b. Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang ingin diteliti, di pandang sebagai suatu pendugaan terhadap populasi, namun bukan populasi itu sendiri. untuk menentukan sampel dalam sebuah penelitian harus dilakukan perhitungan secara pasti jumlah besaran sampel untuk populasi, untuk menghindari berbagai kesulitan karena populasi memiliki karakter yang sukar di gambarkan.
Sampel dalam penelitian ini adalah anak-anak autis yayasan mutiara pelangi anakku. Tehnik pengambilan sampel menggunakan tehnik sampling jenuh. (Sugiono, 2015 : 85) menyatakan tehnik sampling jenuh dalam tehnik non probability sampling adalah tehnik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Karena populasi dalam penelitian ini berjumlah 10 anak autis kurang dari 30 anak.
6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang di gunakan oleh peneliti adalah hipotesis deskriptif. Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah deskriptif yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri (Sugiono, 2015 : 67). Dalam penelitian ini hipotesisnya adalah:
Ho : Tidak terdapat pengaruh self acceptance (penerimaan diri) orang tua terhadap kepercayaan diri anak autis
Ha : Terdapat pengaruh self acceptance (penerimaan diri) orang tua terhapad kepercayaan diri anak autis
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini merupakan teknik analisis statistik deskriptif. Teknik analisis deskriptif adalah statistik yang di gunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskriptifkan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau genereralisasi (Sugiono, 2015 : 147) . Alasan penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif karena penelitian ini dilakukan pada populasi (semua sampel)
J. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, dalam proposal ini peneliti menguraikan beberapa bab yaitu:
Ø BAB I . Pendahuluan, yang meliputi : latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan
Ø BAB II . Landasan teori, yang terdiri dari : penguraian kajian teori yang mencakup di dalamnya adalah pengertian anak autis, pengertian self acceptance, aspek dan indikator self acceptance orang tua yang memiliki anak autis , faktor-faktor yang mempengaruhi self acceptance orang tua terhadap anak autis, tahapan self acceptance orang tua, kepercayaan diri anak autis, aspek dan indikator kepercayaan diri anak autis yang akan di rangkum dalam landasan teori sehingga menjadi mudah untuk di fahamai, kerangka berfikir, dan hipotesis
Ø BAB III. Metode Penelitian, yang meliputi: propil yayasan penelitian dan metode penelitian. Dalam metode penelitian akan di jelaskan jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, proses pengumpulan data , tehnik analisis data
Ø BAB 1V. Hasil dan pembahasan menyesuaikan dengan rumusan masalah
Ø BAB V. Kesimpulan dan saran
K. Rencana Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Mutiara Pelangi Anakku, waktu penelitia akan dijelaskan pada tabel di bawah ini.
No.
|
Kegiatan
|
Bulan
|
|||||||
Oktober
|
November
|
Desember
|
|||||||
1.
|
Persiapan
|
ü
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Observasi
|
|
ü
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Bimbingan Instrumen
|
|
|
|
ü
|
|
|
|
|
4.
|
Uji Coba Instrumen
|
|
|
|
|
ü
|
|
|
|
5.
|
Pengumpulan Data
|
|
|
|
|
|
ü
|
|
|
6.
|
Analisis Data
|
|
|
|
|
|
|
ü
|
|
7.
|
Penyusunan Laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
ü
|
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif. (A. Supriyana, Ed.) (2nd ed.). Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Cahyani, R. A. (2015). Penerimaan Diri Ibu Dengan Anak Berkebutuhan Khusus Di Mojokerto. Skripsi, pp. 2–490.
Daulay, N. (2017). Struktur Otak dan Keberfungsiannya pada Anak dengan Gangguan Spektrum Autis : Kajian Neuropsikologi. Buletin Pikologi, 25(1), 11–25. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.25163
Faradina, N. (2016). Penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Psikologi, 4(4), 386–396.
Hasanah, U. (2017). Self Control Dan Penerimaan Orang Tua Pada Keberhasilan Pendidikan Anak Autis. An-Nafs, 2(1).
Herward, W., & Orlansky, M. (1992). Exception Childern. New York: Macmillan.
Nida, F. L. K. (2013). Komunikasi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. At-Tabsyir, Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, 1(2), 163–189.
Pancawati, R. (2013). Penerimaan Diri Dan Dukungan Orang tua Terhadap Anak Autis. Psikologi, 1(1), 38–47.
Rachmayanti, S. (2007). Penerimaan Diri Orangtua Terhadap Anak Autisme dan Peranannya dalam Terapi Autisme. Psikologi, 1(1), 7–17.
Somantri, S. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. (R. Refika, Ed.) (4th ed.). Bandung: Refika Aditama.
Wahdani, S. R. (2017). Melatih Kesabaran Dan Wujud Rasa Syukur Sebagai Makna Coping Bagi Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis. Perempuan, Agama Dan Jender, 16(1), 13–31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar